Tuesday, April 12, 2022

Kata Pakar Unair Soal PPN 11%: Bukan Satu-satunya yang Memberatkan Masyarakat | PT Rifan Financindo

 PT Rifan Financindo  -  Kebijakan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% berlaku mulai 1 April 2022 lalu. Seperti dilaporkan oleh detikfinance sebelumnya, kebijakan tersebut juga sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pakar perpajakan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Elia Mustikasari mengatakan, hal ini memang memberatkan masyarakat. Namun, kenaikan PPN tersebut dinilainya bukan satu-satunya faktor yang memberatkan masyarakat. Faktor pemberat lainnya adalah berbagai peristiwa yang tidak dapat diprediksi.


"Jadi sebenarnya faktor pemberatnya bukan hanya pajak 11 persen itu. Faktor-faktor pemberat yang lain adalah kejadian-kejadian unpredictable (tidak dapat diprediksi), yaitu pandemi COVID-19 dan perang Rusia Ukraina," jelas Elia seperti dikutip dari situs Unair, Senin (11/04/2022).

Dia menjelaskan, yang menjadi perhatian masyarakat atas kenaikan PPN ini adalah timing berlakunya. Saat ini bertepatan dengan bulan Ramadan, ada kelangkaan BBM akibat perang Rusia-Ukraina, juga diikuti meningkatnya harga barang substitusi energi maupun komoditas lain, seperti batu bara.

Elia melanjutkan, kelapa sawit turut menyebabkan kenaikan hampir seluruh barang dan jasa yang memberatkan masyarakat. Meski begitu, kebijakan PPN 11% ini juga dikatakannya tepat waktu karena perekonomian publik mulai pulih setelah sebelumnya dipukul pandemi COVID-19.

Namun, dia menyayangkan kebijakan ini. Menurutnya, pemerintah bisa mengundur pelaksanaannya.

"Sebenarnya pemerintah ada senjata untuk mengundur dengan perpu," kata Elia.

Walau begitu, pengunduran bisa mengakibatkan turunnya kredibilitas pemerintah. Apabila diundur, kebijakan ini bakal sukar diberlakukan karena 2024 adalah waktunya pergantian presiden.

Dia menuturkan, PPN di Indonesia masih termasuk moderat. Di samping itu, regulasi perpajakan di negara ini menurutnya telah mempertimbangkan situasi di dalam dan luar negeri.

"Negara-negara Asia itu rata-rata tarif (PPN)-nya 12 persen dan negara-negara anggota OECD rata-rata 15,4 persen," ujar Elia.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair itu mengatakan, kenaikan PPN menjadi 11% tidak hanya untuk menempatkan kembali fungsi PPN sebagai pajak transaksi barang dan jasa yang bersifat umum.

Dia menilai kebijakan ini juga bermaksud untuk mengimbangi penurunan tarif PPh badan dari 25% ke 22% yang pada 2022 menjadi 20%, kenaikan batasan penghasilan WPOP (Wajib Pajak Orang Pribadi) yang dikenakan tarif 5%, dan pembebasan PPh orang pribadi pengusaha UMKM tertentu yang beromzet maksimal Rp 500 juta per tahun.

Menurut Elia, PPN dinilai sebagai sumber pemasukan negara yang lebih pasti, ketimbang PPh karena pengendaliannya lebih mudah.

"Pajak penghasilan lebih sulit dikejar karena banyak wajib pajak yang melakukan penghindaran pajak (tax avoidance)," ungkapnya.

Wakil Ketua II Kompartemen Perpajakan Ikatan Akuntan Indonesia itu menyebut, diskusi penataan kembali perundang-undangan pajak, termasuk PPN ini sudah diselenggarakan sejak lama.

Dia menyampaikan, kebijakan ini adalah kelanjutan omnibus law yang tujuannya mengatasi kelesuan ekosistem investasi, di mana Indonesia dinilai tidak menarik untuk dijadikan lahan investasi negara lain.

"Tidak menariknya itu karena banyak hal. Peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, yang tidak sinkron, yang memberatkan, apalagi ditambah isu korupsi. Membuat mereka (investor) tidak nyaman di Indonesia. Karena pertimbangan itulah dilahirkan omnibus law," paparnya.

Pengecualian PPN 11%
Elia menyampaikan, sektor kesehatan, pendidikan, bahan makanan pokok, serta pelayanan publik dikecualikan dari PPN 11%.

"Harapannya yang kena nanti masyarakat mampu," sebutnya.

Dosen program studi akuntansi itu menyatakan, kenaikan PPN ini tidak memberatkan pengusaha karena yang menanggung adalah konsumen akhir atau end-user consumer.

"Itu semua yang menanggung end-user customer atau konsumen akhir, karena kalau di ranah pengusaha pajak masukannya bisa dikreditkan ke pajak keluarannya," imbuhnya.

Terlebih, Elia menuturkan bahwa membahas kenaikan PPN 11% dengan dikotomi masyarakat kelas atas dan menengah ke bawah, bukanlah hal yang pas. Sebab, bentuk PPN adalah pajak objektif yang tidak memperhatikan daya pikul wajib pajak.

"Sehingga kalau kita bicara keadilan nggak pas. Pasnya di ranah pajak subjektif, yaitu PPh," pungkas dosen Unair tersebut.


Sumber : Finance.detik

PT Rifan Financindo

No comments:

Post a Comment