Monday, December 4, 2023

Bukan Bitcoin-Gopay, Cek 5 Fakta Rupiah Digital Terbit 2024

Bank Indonesia (BI) terus mengembangkan Rupiah Digital sebagai mata uang digital yang sah yang dikenal Central Bank Digital Currency (CBDC).

Sebagai catatan, CBDC merupakan mata uang digital yang diterbitkan oleh dan menjadi tanggung jawab bank sentral dalam hal ini BI.

Bagi masyarakat umum,CBDC adalah bentuk digital dari uang tunai fisik. Dari sudut pandang bank, CBDC dapat digunakan untuk penyelesaian antarbank pembayaran dan transaksi, seperti cadangan bank elektronik yang disimpan di bank sentral.

Beberapa pertanyaan muncul khususnya hal teknis mengenai rupiah digital/CBDC ini. Berikut adalah poin penting yang masih menjadi permasalahan dalam penerbitan CBDC dan sistem yang dipilih oleh Bank Indonesia untuk rupiah digital.

Diterbitkan dalam Token atau Akun?

Tidak ada sistem yang sempurna. Banyak diskusi desain sistem CBDC pada awalnya membedakan antara CBDC "berbasis akun" dan "berbasis token" dalam konteks penerbitannya.

Model "berbasisakun" merujuk pada sistemCBDC yang merekam seluruhakun dan transaksinya, yang terikat dengan identitas unik. 

CBDC dengan bentuk akun merupakan bentuk CBDC yang didistribusikan kepada pemegang yang sudah terverifikasi oleh bank sentral seperti lembaga keuangan bank. Tidak hanya itu, CBDC dalam bentuk akun pada dasarnya juga dapat digunakan untuk mengonversi bank deposit karena jumlahnya yang relatif besar sehingga diperlukan verifikasi sesuai kebijakan bank sentral untuk memindah-tangankan (Rod Garratt et al., 2020).

Di sisi lain, sistem berbasis token hanya merekam "aset" yang pemegangnya bisa diketahui atau tidak diketahui.

CBDC dengan bentuk token pada dasarnya adalah CBDC yang memiliki sifat serupa dengan mata uang fiat, seperti uang kertas dan koin. Oleh karena itu, model berbasis token menawarkan anonimitas. Namun, "tidak se-anonim" uang dalam bentuk karena selalu meninggalkan jejak elektronik.

Dalam penerapannya, BI memutuskan basis token untuk w-Rupiah Digital. Token dipandang sebagai pilihan sesuai untuk w-Rupiah Digital karena dianggap lebih mampu memfasilitasi transaksi antarpelaku di pasar keuangan yang cenderung lebih kompleks.

Sedangkan untuk r-Rupiah Digital menggunakan akun dan/atau token yang diatur berdasarkan segmentasi tingkatan (tiering) dan nilai transaksi (capping).

r-Digital Rupiah berbasis token akan digunakan untuk memfasilitasi transaksi bernilai kecil hingga ambang batas tertentu. Sementara transaksi yang melebihi ambang batas hanya dapat difasilitasi oleh r-Digital Rupiah berbasis akun.

Berbunga atau tidak?

Perdebatan terjadi mengingat kemungkinan untuk negara menerapkan interest bearing (dikenai) pada CBDC. Jika CBDC bisa dikenai bunga, kebijakan moneter bank sentral bisa makin efektif.

Studi empiris yang dilakukan Indonesia Financial Group (IFG) menunjukkan jika CBDC dikenai bunga, tingkat bunga deposito akan naik diikuti dengan kenaikan suku bunga kredit. Kenaikan suku bunga kredit yang naik akan menekan penyaluran pinjaman dan berdampak ke realisasi investasi.

Ada perdebatan yang menyatakan jika CBDC tidak dikenai bunga, masyarakat bakal enggan pindah dari mata uang fiat. Dampaknya, bank sentra harus mengeluarkan upaya lebih agar CBDC cepat diadopsi.

DI Indonesia, CBDC yang hadir akan menjadi komplemen uang kartal (kertas dan logam) dan rekening giro pihak ketiga.

Ketiganya akan berperan sebagai aset setelmen transaksi yang bebas risiko (risk-free asset). Rupiah digital adalah tagihan langsung (direct claim) pemegangnya kepada BI, dengan mekanisme penerbitan dan cakupan pengguna yang sama dengan saat ini.

Melihat situasi ini, BI selaku bank sentral tegas menyimpulkan digital rupiah tidak memberikan remunerasi atau tanpa bunga (non-interest bearing) kepada pemegangnya. Hal ini sejalan dengan survei dalam kajian Zamset al. (2020) yang menyimpulkan bahwa model CBDC yang paling sesuai dengan kondisi Indonesia adalah cash-like CBDC dengan karakteristik tidak diberikan remunerasi.

"Seperti dijelaskan di white paper, tidak memberikan remunerasi, atau tidak ada suku bunganya, artinya dia tidak akan head to head dengan produk-produk beremunerasi yang ada di perbankan, dengan demikian dampak disintermediasnya bisa kita minimalkan," ucap Kepala Grup Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Ryan Rizaldy.

Grosir atau ritel?

Bank sentral perlu memutuskan apakah penggunaan CBDC akan dibatasi hanya untuk bank dan lembaga keuangan lainnya ("Wholesale") atau dibuat tersedia untuk masyarakat umum, termasuk individu ("Ritel").

Untuk diketahui, platform Digital Rupiah terdiri dari platform wholesale dan ritel. Pemisahan tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi skalabilitas dan meminimalkan eksposur operasional, termasuk serangan siber, terhadap stabilitas sistem keuangan. Meski terpisah, sinkronisasi antara platform w-Digital Rupiah dan r-Digital Rupiah dapat berlangsung tanpa hambatan.

Wholesaler sebagai pihak yang memiliki akses Rupiah Digital secara langsung dari Bank Indonesia dan berperan mendistribusikan Rupiah Digital kepada peritel dan pengguna akhir.

w-Digital Rupiah diarahkan untuk menjadi aset setelmen (settlement asset) untuk transaksi di pasar keuangan, termasuk Operasi Moneter (OM), transaksi pasar valas, dan transaksi pasar uang, baik yang bersifat collateralized maupun uncollateralized, serta transaksi outright atau repo.

w-Rupiah Digital akan berperan sebagai aset setelmen yang bebas risiko (risk-free asset) pada pasar wholesale sekaligus menjadi komplemen rekening giro di bank sentral. Di samping itu, w-Rupiah Digital tidak memberikan remunerasi kepada pemegangnya.

w-Rupiah Digital diakses melalui verifikasi berbasis token oleh penggunanya. Token dipandang sebagai pilihan sesuai untuk w-Rupiah Digital karena dianggap lebih mampu memfasilitasi transaksi antarpelaku di pasar keuangan yang cenderung lebih kompleks.

Sedangkan r-Digital Rupiah digunakan untuk memfasilitasi berbagai use cases transfer dan pembayaran, baik personal/individu maupun bisnis (merchant dan korporasi).

Dengan kata lain, rupiah digital dapat digunakan oleh ritel dengan penamaan Rupiah Digital ritel (r-Rupiah Digital) untuk publik dan didistribusikan untuk transaksi ritel.

r-Digital Rupiah dapat digunakan masyarakat luas layaknya uang kertas dan uang logam. Masyarakat memperoleh r-Digital Rupiah dengan cara menukar uang kertas dan logam, rekening giro atau tabungan di bank umum, atau saldo uang elektronik miliknya dengan r-Digital Rupiah melalui perantara yang ditunjuk BI.

Perantara, dalam hal ini wholesaler, kemudian menggunakan stok w-Digital Rupiah miliknya untuk memenuhi permintaan r-Digital Rupiah nasabah, baik melalui peritel maupun secara langsung. Mekanisme ini kurang lebih serupa dengan mekanisme yang berlaku pada uang kertas dan uang logam saat ini.

BIFoto: Distribusi Digital Rupiah
Sumber: Bank Indonesia

Satu lapis atau dua lapis?

BI perlu memutuskan keterlibatan sektor swasta atau pihak ketiga sejauh apa dalam penerapan CBDC ini.

Dalam single-tier model, BI bertanggung jawab penuh atas semua tugas dari awal hingga akhir. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi BI karena bank sentral mungkin tidak memiliki kapasitas atau keahlian dalam fungsi-fungsi yang berhubungan dengan nasabah seperti menyaring pelanggan, melayani akun dan menyediakan hal-hal penting.

Sementara dalam two-tier model, BI mengalihkan sebagian tugasnya kepada bank komersial yang pada dasarnya berfungsi sebagai penyedia antarmuka pembayaran. Distribusi, layanan pembayaran dan pengelolaan pengguna rekening/dompet kemudian dapat ditangani oleh bank komersial.

Jika dibandingkan, two-tier model cenderung lebih rendah risiko disintermediasi bank dan memungkinkan bank komersial untuk memanfaatkan keunggulan kompetitif mereka dalam fungsi yang berhubungan dengan pelanggan.

BI sendiri sudah memutuskan untuk jenis w-Rupiah Digital akan didistribusikan lewat one-tier sehingga Wholesaler dan non-wholesaler dapat memperoleh w-Rupiah Digital secara langsung dari Bank Indonesia (one-tier).

Sedangkan jenis r-Rupiah Digital didistribusikan secara two-tier melalui perantara. Namun demikian, dalam kondisi tertentu, Bank Indonesia dapat membuka opsi distribusi r-Digital Rupiah secara one-tier, misalnya untuk membuka akses r-Digital Rupiah pada kawasan terluar, terdepan, dan tertinggal (3T).

Pada skema tersebut, BI mendistribusikan r-Digital Rupiah secara langsung kepada pengguna akhir. Model ini serupa dengan skema distribusi uang kertas dan logam saat ini.

DBSFoto: Single-Tier & Two-Tier Model
Sumber: DBS

Terpusat atau terdesentralisasi?

Distributed Ledger Technology (DLT) yang terdesentralisasi umumnya diasosiasikan terhadap CBDC. Kendati demikian hal ini bukanlah sesuatu yang mutlak mengingat sejumlah negara menerapkan model hybrid yang merupakan gabungan dari platform terdistribusi dan tersentralisasi juga muncul sebagai opsi.

Teknik kriptografi memperkuat keamanan melalui jaminan validitas dan akurasi pada setiap salinan ledger diikuti proses verifikasi atas hak akses partisipan di dalam jaringan. DLT memungkinkan transaksi dan data untuk dapat direkam, dibagikan, dan disinkronisasi antarpeserta/partisipan pada jaringan yang terdistribusi (Krause, Natarajan, dan Gradstein, 2017). Desentralisasi mengurangi risiko single point of failure menyusul terdistribusinya ledger pada banyak partisipan. Fitur programmability memungkinkan proses automasi dari berbagai transaksi yang melibatkan aset digital.

Sedangkan sistem tersentralisasi memiliki keunggulan dari segi kontrol terhadap skalabilitas serta kontrol terhadap risiko dan mitigasi keamanan (Buterin, 2014).

Dalam sistem tersentralisasi, operator dengan mudah dapat meningkatkan jumlah transaksi per detik tanpa perlu mengurangi aspek keamanan. Risiko operasional termasuk risiko siber akan mudah dideteksi dan dimitigasi secara cepat karena adanya sentralisasi dalam pemrosesan transaksi. Di samping itu, risiko double spending jauh lebih rendah pada sistem tersentralisasi dibandingkan sistem terdesentralisasi. Namun, sistem tersentralisasi lebih rentan terhadap risiko single point of failure karena hanya bergantung pada pihak tunggal yang menjadi perantara.

Dalam White Paper 2022 (BI) dijelaskan bahwa digital rupiah menggunakan kombinasi Distributed Ledger Technology (DLT) dan infrastruktur tersentralisasi.

Pilihan pada DLT untuk w-Digital Rupiah membuka peluang bagi BI dan pelaku pasar untuk mengefisienkan transaksi keuangan, di antaranya melalui berbagai fitur yang ditawarkan oleh smart contract.

DLT juga merupakan teknologi yang lebih tangguh dibanding dengan sistem tersentralisasi seiring dengan tereduksinya risiko single point of failure. DLT berbasis permissioned dipilih untuk menjamin tingkat keamanan yang lebih baik mengingat akses terhadap platform DLT tidak bersifat terbuka bagi seluruh pihak. Di samping itu, isu skalabilitas menjadi lebih baik dibandingkan permissionless DLT.

Namun untuk r-Digital Rupiah menggunakan model tersentralisasi mengingat permissioned DLT dipandang belum cukup memadai untuk mampu memfasilitasi transaksi ritel yang memiliki karakter bervolume tinggi.

Kendati demikian, opsi model DLT masih menjadi opsi yang terbuka bagi r-Digital Rupiah dalam hal solusi teknologi yang tersedia mampu mengatasi permasalahan terkait isu skalabilitas.

No comments:

Post a Comment