Tuesday, December 4, 2018

Menanti 'Taring' MRT Ubah Jakarta Seperti Jepang | PT RIfan Financindo



PT RIfan Financindo -  Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi, tapi trotoar jalan di depan hotel tempat saya menginap di Shinjuku sudah ramai oleh riuhnya derap langkah para pejalan kaki. Shinjuku adalah salah satu distrik khusus dari prefektur atau provinsi Tokyo, yang merupakan pusat dagang dan pemerintahan Tokyo Metropolitan.

Pada waktu sepagi itu, jalanan di Shinjuku sudah mulai ramai dipadati oleh orang-orang yang ingin berangkat kerja maupun ke sekolah. Kerumunan orang-orang di jalan tersebut berasal dari para penumpang kereta api yang ada di stasiun Shinjuku, maupun yang akan hendak pergi ke stasiun Shinjuku menuju tempat tujuannya masing-masing.

Mereka yang mengenakan jas, lengkap dengan dasi dan tasnya bisa dengan tertib berjalan, menyeberang jalan melalui zebra cross, menunggu antrean mulai dari di luar stasiun, di dalam stasiun hingga masuk ke dalam dan keluar dari kereta. Padatnya stasiun Shinjuku yang menjadi salah satu stasiun interchange transportasi umum terbesar di Tokyo tak membuat pergerakan kacau dan menegangkan.

Tak perlu diragukan lagi, bepergian menggunakan transportasi umum khususnya kereta telah menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari bagi warga Jepang. Dengan total panjang jalur kereta 27.607 km, seluruh kota di Jepang telah terhubung dari Selatan hingga ke Utara oleh kereta api (saat ini kereta listrik).

Kereta menjadi backbone atau tulang punggung transportasi di Jepang, sementara bus menjadi angkutan feeder atau pendukung menuju lokasi-lokasi yang lebih spesifik lagi. Hal ini persis seperti yang akan dilakukan di Jakarta, menjelang beroperasinya angkutan kereta moda raya terpadu atau MRT.

Kereta MRT akan menjadi backbone transportasi umum di Jakarta, sementara busway atau angkutan dalam kota lainnya akan menjadi feeder. Beroperasinya MRT Jakarta pada Maret 2019 nanti diharapkan bisa mengubah Jakarta menjadi lebih baik lagi, lewat budaya baru dalam menggunakan transportasi umum yang baik dan benar.

"Saat bangsa Indonesia membangun infrastruktur transportasi baru seperti MRT, sesungguhnya kita juga sedang membangun budaya baru, budaya tepat waktu, budaya antre," kata Presiden Jokowi mengomentari soal akan beroperasinya MRT Jakarta pada Maret 2019 nanti, seperti dikutip dari akun instagram @jokowi.



MRT Jakarta memang menjadi harapan baru bagi masa depan transportasi umum di Indonesia. Meski baru akan beroperasi 16 km pada Maret 2019 nanti, namun MRT diharapkan menjadi pemantik budaya baru dalam etika menggunakan transportasi umum, disiplin waktu dan antrean.

Sebagai sebuah korporasi, MRT Jakarta juga harus menjadi perusahaan berkelanjutan dengan mengoptimalkan setiap aset yang ada. Sama seperti setiap operator kereta di Jepang, MRT juga akan meniru bagaimana bisnis perusahaan bisa terus berkelanjutan sehingga misi mengubah Jakarta bisa tercapai.

Lalu seperti apa cara yang bisa ditiru PT MRT Jakarta dari Jepang untuk mengubah Jakarta? Simak ulasan lengkap eksklusif dari Jepang

Penggunaan kereta sebagai alat transportasi di Jepang telah dimulai sejak tahun 1872. Diawali oleh kereta lokomotif yang menggunakan mesin uap, kereta api yang menggunakan tenaga kuda, hingga munculnya kereta api listrik.

Dalam kurun waktu 146 tahun lamanya, Jepang telah memiliki lebih dari 27.000 km jalur kereta yang dioperasikan oleh 216 perusahaan. Jumlah penumpang kereta di Jepang pada rentang tahun 1965-2015 tercatat meningkat 54%, dari 15,79 miliar orang/tahun menjadi 24,36 miliar orang/tahun.

Namun yang mengesankan dari itu semua adalah bagaimana para pengguna kereta di Jepang mempunyai etika yang baik dalam menggunakan angkutan umum. Etika tersebut akhirnya membawa pengaruh yang baik ke berbagai dimensi, sampai ke penerimaan negara melalui peningkatan pariwisata.

"Kami sering mendapat pujian dari turis asing, bahwa kereta di Jepang bersih, tertib, dan semua penumpang memiliki etika," kata General Affair Asosiasi Operator Railway Swasta Jepang Ochi Mashimaro saat ditemui di Tokyo beberapa waktu lalu.

Ochi menjelaskan, Jepang memiliki Undang-undang (UU) yang mengatur soal pengoperasian kereta. Namun untuk aturan pada saat naik kereta dan operasional sehari-hari, pemerintah meminta kepada setiap perusahaan kereta api membuat aturan masing-masing.

Pada umumnya, aturan yang dibuat oleh masing-masing operator sama, kecuali untuk beberapa kasus tertentu tergantung jenis keretanya. Namun, penumpang diatur mulai dari pembelian tiket kereta, aturan mengantre kereta di peron stasiun, hingga larangan membawa barang berbahaya ke dalam kereta.

Penumpang bisa naik kereta setelah membeli tiket dari mesin penjual tiket atau menggunakan kartu IC transportasi (IC Card) seperti PASMO. Dengan menggunakan IC card, maka penumpang tinggal menyentuhkan kartu IC yang ada saldonya ke gerbang otomatis.

Sampai ke platform atau peron stasiun, penumpang wajib antre sesuai tanda yang tertera di stasiun. Peringatan berupa tanda, poster, dan suara imbauan dari mesin pengeras suara yang ada di stasiun menjadi pengawas antrean penumpang di area peron.

"Kalau Anda mengerti bahasa Jepang, pasti sering mendengarkan peringatan dari kami (pengelola stasiun) agar penumpang bisa antre sesuai tanda yang sudah ditentukan," kata Ochi.

Kemudian pada saat kereta tiba, calon penumpang yang akan masuk kereta dimohon untuk mempersilakan yang turun terlebih dahulu agar proses keluar-masuk kereta bisa lancar. Penyimpangan etika hal dasar seperti ini masih sering kita jumpai di banyak stasiun kereta di Indonesia.
MRT Jakarta sebagai transportasi baru nanti akan mencoba menerapkan hal tersebut kepada setiap penumpang yang akan naik kereta MRT. Perubahan perilaku dalam menggunakan transportasi umum menjadi salah satu pondasi agar misi mengubah Jakarta menjadi lebih baik bisa benar-benar terlaksana.

"Banyak sekali yang bisa kami tiru, khususnya terkait perilaku, penumpang, yang memang bisa kami sampaikan penumpang pada umumnya. Secara prinsip, ada yang sama yang kami terapkan, tinggal metodenya saja. Kami akan kemas agar bisa diterima oleh warga Indonesia," kata Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta Tubagus Hikmatullah saat ditemui di Tokyo, Jepang.

Etika yang lebih baik dalam menggunakan transportasi publik tentu akan mendorong jumlah pengguna MRT, lantaran jumlah pengguna kendaraan pribadi bisa ditekan. Hal ini pula yang menjadi resep suksesnya sistem transportasi perkeretaapian di Negeri Sakura.

Untuk meningkatkan pelayanan, operator-operator kereta di Jepang juga menyediakan tempat khusus bagi penyandang cacat atau difabel, manula hingga ibu hamil dan orang sakit. Sebagian tempat duduk di dalam kereta disediakan bagi mereka yang disebut prioritas ini dan setiap stasiun pasti dilengkapi toilet atau kamar mandi khusus.

"Selain itu, kami memperbanyak jumlah lift di stasiun. Penumpang juga harus mengalah untuk ibu-ibu yang membawa baby car-nya," kata Ochi.

Dalam UU operasional kereta api di Jepang juga ada larangan merokok di stasiun dan dalam kereta. Aturan tersebut untuk pertimbangan keselamatan hingga pencegahan kebakaran.

Bila merokok di area bebas rokok, maka penumpang dapat diturunkan dengan paksa karena dianggap melanggar hukum. Bahkan untuk beberapa kasus buruk, ada pelaku yang ditangkap untuk diserahkan ke aparat kepolisian.

Sebagian besar kereta api swasta di Jepang telah menerapkan larangan merokok dan menghapus semua area merokok di stasiun dan kereta, meskipun masih ada beberapa stasiun yang menyediakan fasilitas ruangan khusus merokok di stasiun.
Keselamatan dan keamanan dalam menggunakan transportasi umum juga menjadi salah satu faktor yang mendorong orang mau menggunakan sebuah transportasi umum. Dua hal tersebut menjadi kebijakan dasar bagi perusahaan kereta yang ada di Jepang dalam menjalankan bisnisnya.

Metode PDCA (plan, do, check, action) menjadi cara yang selalu dilakukan berulang-ulang untuk memastikan aspek keselamatan. Operator bahkan memuat catatan-catatan kekurangan di stasiun dan kereta dalam sebuah papan buletin yang akan dibahas dalam pertemuan promosi keselamatan.

"Kami sebagai operator transportasi selalu memposisikan diri sebagai pihak yang dititipkan nyawa penumpang. Setiap divisi punya organisasinya masing-masing dan bertanggung jawab terhadap manajemen keselamatannya," kata Kepala Unit Seksi Promosi Keselamatan Biro Transportasi Fukuoka, Akira Ono saat ditemui di Fukuoka, Jepang.

Operator juga melakukan patroli lapangan sesuai divisinya masing-masing untuk memastikan kesadaran akan prioritas keselamatan yang telah ditetapkan dalam UU. Di antaranya dengan melakukan dengar pendapat dengan pekerja di lapangan, agar kesadaran pekerja akan pentingnya keselamatan bisa terus meningkat.

Sistem manajemen keselamatan yang dilakukan oleh Biro Transportasi Fukuoka City Subway ini telah memberikan hasil yang cemerlang. Sejak mulai beroperasi pada 1981, tidak pernah terjadi kecelakaan fatal seperti tabrakan atau rel anjlok.

Selain berinvestasi pada alat terkait keselamatan, operator juga berinvestasi padaa pendidikan dan manajemen kru. Kemudian, dilakukan pula program pelatihan tanggap darurat, pengontrolan fasilitas dan armada kereta secara berkala, persiapan menghadapi bencana, hingga penanggulangan teror di dalam kereta.

"Pengontrolan dilakukan di tunnel, di lintasan, hingga power supply atau pasokan energi listrik dan sinyal," kata Ono.

Dari sisi kenyamanan, perusahaan kereta di Jepang juga melakukan berbagai inovasi layanan. Selain menyediakan kursi prioritas dan melarang rokok di stasiun atau kereta, ada sejumlah usaha lainnya agar penumpang bisa tetap nyaman menggunakan transportasi umum.

Misalnya, diadakannya gerbong khusus bagi wanita di kereta api swasta utama sejak 2001. Meski berbeda-beda pada tiap operator, namun pada umumnya, penerapan gerbong khusus bagi wanita dilakukan tidak penuh selama waktu operasional, alias hanya pada jam-jam sibuk di pagi atau malam hari. Tujuannya untuk mencegah wanita dari pelecehan.

"Sebenarnya ada perdebatan cukup panas hingga kebijakan ini dikeluarkan. Latar belakangnya karena kereta di Jepang sangat padat, dan banyak keluhan tentang pelecehan seksual di dalam kereta terhadap wanita," kata General Affair Asosiasi Operator Railway Swasta Jepang Ochi Mashimaro.

Selain itu, di tengah semakin banyaknya masyarakat yang lanjut usia, dan tingginya permintaan penyandang cacat untuk ikut serta menggunakan kereta, semua perusahaan kereta swasta di Jepang memberlakukan bebas hambatan terhadap stasiun-stasiun yang rata-rata digunakan oleh lebih dari 3.000 orang/hari. Setiap perusahaan wajib membangun eskalator dan lift di stasiun secara terencana.

Angka kelahiran yang turun di Jepang juga memicu lahirnya area bebas hambatan untuk mereka yang sedang membawa anak dengan kereta bayi. Hal ini sebagai langkah menciptakan lingkungan yang memudahkan bagi pengasuhan anak.

Setiap perusahaan atau asosiasi kereta swasta di Jepang melakukan berbagai program seperti pemasangan poster, pembagian selebaran mengenai penggunaan kereta bayi di stasiun dan di dalam kereta. Mereka yang ingin mendapatkan kemudahan tersebut bisa masuk ke gerbong kereta khusus yang sudah dipasang tanda kereta bayi di gerbongnya.

Di stasiun juga dipasang sejumlah fasilitas yang menambah kenyamanan dan keamanan pengguna, seperti mesin tiket dan penomoran stasiun yang dilengkapi bahasa asing selain Jepang (Inggris, China, dan Korea). Lalu, pemasangan pintu tepi peron hingga CCTV atau kamera pengawas yang tersebar di peron stasiun, koridor, hingga di dalam kereta.
Perusahaan-perusahaan perkeretaapian di Jepang tak bisa hanya mengandalkan pendapatan melalui penjualan tiket kereta. Operator kereta di Jepang harus bisa berinovasi dalam memanfaatkan aset yang dimilikinya, mulai dari rolling stock hingga stasiun kereta.

Berdasarkan data Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, dan Transportasi Jepang, operator kereta di kota-kota besar di Jepang mengandalkan pendapatan non tiket untuk meraup untung. Kontribusi bisnis non tiket untuk pendapatan dari operator kereta di Tokyo, Nagoya, Osaka, dan Fukuoka mencapai 68,8% dari total pendapatan.

Operator kereta di Jepang secara pro aktif mengembangkan area komersil seperti pusat perbelanjaan atau mal di stasiun. Hal tersebut dibuktikan oleh detikFinance pada sejumlah stasiun kereta yang ada di Jepang, mulai dari Fukuoka, Greater Tokyo hingga Yokohama.

JR Kyushu, salah satu anak usaha dari perusahaan operator kereta terbesar di Jepang; Japan Railways, membuktikan bahwa tak cukup hanya mengandalkan pendapatan dari penjualan tiket. Usaha mereka melakukan diversifikasi bisnis non tiket mulai membalikkan keadaan yang lebih baik.

Di tahun 1987, pendapatan dari tiket kereta mencakup 81,8% dari total pendapatan yang membuat JR Kyushu masih menderita kerugian JPY 28,8 miliar. Sementara pendapatan non tiket hanya menyumbangkan kontribusi 18,2%.

Perbedaan mencolok terlihat saat pengembangan bisnis non tiket mulai dilakukan masif. Pada tahun 2017 lalu, pendapatan non tiket menyumbangkan kontribusi tertinggi perusahaan sebesar 63,4% sementara dari tiket menyumbangkan kontribusi 36,6%.

Hal lainnya yang membuat operator kereta di Jepang tak hanya mengandalkan pendapatan dari penjualan tiket adalah harga tiket kereta yang jarang naik. Pasalnya, harga tiket transportasi umum di Jepang tak ada yang disubsidi oleh pemerintah.

Jika suatu waktu harga tiket naik, maka itu berarti disebabkan adanya peningkatan pajak konsumsi oleh pemerintah Jepang.

"Dulu waktu kami masih jadi Japan National Railway, mereka (pemerintah) sering menaikkan harga tiket. Belajar dari itu, kami berusaha tidak menaikkan harga tiket. Cuma sekali, saat pemerintah Jepang melakukan perubahan pajak konsumsi," kata Director General Manager Sales Departement JR Hakata City, Yusuke Nigo.

Namun, bisnis layanan transportasi harus tetap menjadi bisnis utama perusahaan karena hal tersebut yang bisa mendorong pendapatan di sektor bisnis non tiket. Untuk itu, pelayanan transportasi kereta tetap menjadi perhatian yang paling diutamakan.

"Yang harus dipikirkan bagaimana keuntungannya dengan pengembangan wilayah di daerah stasiun. Saat kita kembangkan stasiun, jangan khawatir nanti ada pembelinya atau tidak. Karena sudah pasti mereka akan datang," ujar Manager Planning Departement Corporate Planning Headquarter Kyushu Railway Company, Makoto Kawano.

Hal yang sama juga akan ditiru oleh PT MRT Jakarta saat akan mengoperasikan kereta MRT Maret 2019 nanti. Beberapa bisnis non tiket yang dilakukan di antaranya mengembangkan ritel di dalam stasiun MRT Jakarta, bisnis periklanan, hak penamaan (naming rights) hingga pengembangan mobile apps untuk menunjang ekonomi digital.

Dengan demikian, peluang bisnis yang ditangkap mulai dari masuk stasiun sampai keluar dari stasiun. Masuk ke dalam stasiun, berbagai bisnis ritel dikembangkan, mulai dari convenience store atau mini market, toko fesyen, makanan dan minuman hingga ATM.

"Harapannya non fare box (non tiket) bisa menjadi revenue (pendapatan) yang menutup dan menghidupi perusahaan. Non fare box harus bisa menjadi biaya tambahan untuk kelangsungan hidup perusahaan," kata Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta Tubagus Hikmatullah
Beroperasinya MRT Jakarta diharapkan mampu membawa budaya baru yang lebih baik dalam menggunakan transportasi umum di Indonesia. Melalui tagline #UbahJakarta, MRT mengajak masyarakat untuk mulai menyadari pentingnya memiliki etika dalam mengandalkan transportasi umum jika ingin Jakarta mau diubah menjadi lebih baik.

Jepang menjadi negara percontohan yang paling pas untuk ditiru soal etika menggunakan transportasi umum. Negara Matahari Terbit ini menyuguhkan contoh konkrit bagaimana etika menggunakan transportasi umum menjadi pondasi lahirnya suatu sistem transportasi umum yang efisien.

Sekretaris PT MRT Jakarta Tubagus Hikmatullah mengatakan ada banyak perilaku bertransportasi yang bisa ditiru dari negara Jepang. Selain etika dasar menggunakan transportasi umum, ada beberapa etika lainnya yang kemungkinan bisa diterapkan di Indonesia.

"Saya melihat di sini (Jepang) petunjuk, poster, menginformasikan perilaku apa saja yang harus dilakukan oleh penumpang. Bahkan, mereka menggunakan pengumuman, baik audio, maupun visual. Nanti kami sampaikan ke manajemen, disesuaikan lagi dengan perilaku di Indonesia," katanya.

Kontribusi dari masyarakat dianggap memegang peranan besar agar bisa mewujudkan suatu sistem transportasi yang baik dan efisien. Sedangkan untuk memastikan keberlangsungan perusahaan, MRT akan menggenjot peluang dari bisnis non tiket, meski tak mengesampingkan bisnis tiket kereta sebagai akar bisnis perusahaan.

"Poinnya adalah, kami ingin baik fare box (pendapatan tiket) dan non fare box (pendapatan non tiket) punya kontribusi yang bagus untuk mendukung kelangsungan perusahaan dan modanya bisa bermanfaat bagi masyarakat," kata Hikmat.

Setidaknya ada tiga pihak yang dibutuhkan keterlibatannya agar misi mengubah Jakarta menjadi kota yang lebih baik, di antaranya masyarakat, pemerintah dan media.

Dari masyarakat, ada sejumlah perbaikan perilaku dalam menggunakan transportasi umum yang diharapkan dengan beroperasinya MRT. MRT juga harus menjadi transportasi yang terkoneksi dengan transportasi umum lainnya sehingga sistem transportasi yang diidam-idamkan bisa mengubah Jakarta benar-benar akan terwujud.

Sumber:  finance.detik
PT RIfan Financindo

No comments:

Post a Comment