Monday, October 9, 2023

Ngeri-Ngeri Sedap Pengelolaan BUMN

Pada 19 September 2023, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengumumkan dan menetapkan Direktur Utama PT Pertamina periode 2009 - 2014 Karen Agustiawan sebagai tersangka korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) pada PT Pertamina dari 2011 sampai dengan 2021.
Berdasarkan keterangan Firli Bahuri, Karen mengambil keputusan secara sepihak untuk bekerja sama dengan perusahaan asal Amerika Serikat, Corpus Christi Liquefaction, LLC dalam pengadaan LNG selama 20 tahun. Keputusan tersebut diambil tanpa melibatkan Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), serta tanpa didasari kajian dan analisis yang menyeluruh sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 2,1 triliun.

Kerugian negara tersebut terjadi akibat LNG yang dibeli PT Pertamina tidak terserap secara maksimal di pasar domestik karena pasokan LNG melimpah di dalam negeri. Akibatnya, LNG tersebut harus dijual ke lantai bursa di bawah harga beli. Atas perbuatannya tersebut, Karen disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor).

ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk dapat diputuskan sebagai suatu tindak pidana korupsi berdasarkan pasal tersebut, suatu perbuatan harus memenuhi unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tidak sulit bagi penuntut umum untuk membuktikan perbuatan Karen memenuhi unsur-unsur tersebut.

Secara sederhana, penuntut umum dapat saja membuktikan bahwa pengambilan keputusan secara sepihak tersebut melanggar Anggaran Dasar atau aturan internal PT Pertamina dan mengaitkannya pada pelanggaran terhadap prinsip Good Corporate Governance. Maka perbuatan tersebut sudah memenuhi unsur melawan hukum. Kemudian, transaksi pembelian LNG tersebut tentu menguntungkan Corpus Christi Liquefaction, LLC sehingga unsur memperkaya suatu korporasi telah terpenuhi.

Terhadap unsur kerugian keuangan negara, penuntut umum akan menyamakan kerugian PT Pertamina sebagai kerugian keuangan negara. Apabila demikian, maka perbuatan Karen terbukti sebagai tindak pidana korupsi. Namun, menurut saya, perbuatan Karen tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebab kekayaan PT Pertamina tidak seharusnya dipandang sebagai kekayaan negara. Apabila kerugian PT Pertamina bukan merupakan kerugian keuangan negara, maka perbuatan Karen hanya sebatas kelalaian dalam pengambilan keputusan, bukan perbuatan korupsi.

Benar adanya bahwa UU Tipikor mengkategorikan kekayaan negara yang dipisahkan, termasuk segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan tanggung jawab Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai keuangan negara. Sehingga, berdasarkan UU Tipikor, kekayaan PT Pertamina termasuk kekayaan negara.

Namun, sebagai BUMN, PT Pertamina juga harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). PT Pertamina tergolong sebagai perusahaan perseroan yang mana saham milik negara atas PT Pertamina sebesar 100%. Oleh karenanya, Pasal 11 UU BUMN menegaskan bahwa terhadap persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU PT).

Prinsip utama dalam UU PT adalah pemisahan kekayaan antara kekayaan pemegang saham dengan kekayaan PT. Layaknya PT milik swasta, yang tergolong sebagai kekayaan pemegang saham adalah saham atas suatu PT, bukan aset, kas, utang, pendapatan, atau laba milik PT tersebut. Demikian juga seharusnya yang berlaku bagi PT Pertamina. Pemegang saham PT Pertamina adalah negara. Maka, kekayaan negara hanya sebatas saham atas PT Pertamina, bukan termasuk kas atau pendapatan PT Pertamina.

Penyertaan modal negara pada PT Pertamina telah mengkonversi kekayaan negara dari uang menjadi saham. Keuntungan yang diperoleh PT Pertamina tidak serta-merta menjadikannya sebagai keuntungan negara. Keuntungan tersebut baru menjadi kekayaan milik negara setelah dikonversi menjadi dividen bagi pemegang saham. Demikian juga halnya dengan kerugian. Kerugian tersebut harus dipandang sebagai kerugian PT Pertamina, bukan kerugian negara.

Dalam konteks kasus yang menjerat Direktur Utama PT Pertamina, penegak hukum harus memperhatikan prinsip yang berlaku dalam UU PT. Apabila negara sebagai pemegang saham PT Pertamina merasa dirugikan akibat keputusan yang diambil Karen dalam pengadaan LNG, UU PT telah menyediakan mekanisme hukum, yakni gugatan melalui pengadilan negeri. Seharusnya, negara melalui Jaksa Pengacara Negara mengajukan gugatan perdata terhadap Karen, bukan malah disangkakan dengan tindak pidana korupsi.

Dengan disangkakan sebagai tindak pidana korupsi, hal tersebut akan sangat merugikan nama baik orang yang disangkakan, sekalipun nantinya tidak terbukti bersalah dalam pengadilan. Penegakan hukum yang tidak dilakukan dengan cermat dan tanpa memperhatikan prinsip UU PT tentu akan memberikan chilling effect bagi direktur BUMN lainnya dalam mengambil suatu keputusan bisnis. 

Sebab, kerugian atas BUMN dapat memancing kehadiran penegak hukum untuk mensangkakannya sebagai perbuatan korupsi. Pada akhirnya, sikap konservatif dari direktur BUMN dalam mengambil keputusan bisnis akan merugikan BUMN itu sendiri secara tidak langsung.

Sumber : news.detik

No comments:

Post a Comment