Wednesday, September 20, 2023

Ini yang Bikin Barang di Social Commerce Murahnya Kebangetan | PT Rifan Financindo

PT Rifan Financindo - Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan UKM (LLP-KUKM) Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenkopUKM), akrab disapa SMESCO Indonesia, membeberkan banyak pelaku UMKM yang mengeluhkan kehadiran social commerce. Harga jual barang di kanal digital disebut terlalu rendah. Ada tiga sebab hal itu bisa terjadi.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad, menduga ada penyebab social commerce bisa menjual berbagai produk dengan murah.

Pertama, sumber barang impor. Ahmad, sapaannya, menjelaskan bahwa barang impor relatif ramah terjangkau karena produksi di negara asal diproduksi dengan biaya lebih rendah. Ketika barang tersebut tiba di pasar Indonesia, harganya juga lebih kompetitif karena didatangkan dalam jumlah besar.


"Karena dalam jumlah besar makanya bisa seperti itu (harga murah)," kata dia kepada detikcom, Senin (18/9/2023).

Alasan kedua adalah jumlah modal yang besar. Menurut Ahmad, kemampuan mendatangkan barang impor dari luar negeri tidak mungkin dilakukan pedagang kecil.

Sebab, ada faktor lokasi penyimpanan atau storage, ongkos logistik, serta biaya tenaga kerja yang perlu diperhatikan. Alasan terakhir, adalah strategi penjualan.

Ketika barang sudah sampai, pengimpor memilih untuk menjual harga murah untuk meningkatkan kualitas penjualan lebih banyak. Hal ini berguna untuk membangun loyalitas pelanggan terhadap usaha tersebut dalam jangka panjang.

"Kalau UMKM kecil, kan, sudah keluar banyak biaya untuk tenaga kerja dan biaya simpan gudang. Terbatas kemampuannya dan bagi mereka operational costnya lebih mahal. Berbeda dengan usaha dalam skala besar yang secara ekonomi punya kemampuan untuk membuat harga murah dalam waktu lama, meski artinya ini menghancurkan pasar yang sudah eksis," ungkapnya.

Selain itu dari sisi penggunaan media sosial, Ahmad mengatakan tidak semua pelaku UMKM melek terhadap social commerce. Belum lagi para pedagang UMKM lokal yang selama ini bergantung pada pasar konvensional.

"Karena tidak bermain di kanal itu. Permintaan pasar terhadap produk mereka bisa menurun dalam jumlah besar. Apalagi kalau harga jualnya di bawah HPP. Tentu daya saingnya jadi ketinggalan jauh," ucapnya.

Oleh sebab itu Ahmad sepakat dengan pernyataan pemerintah bahwa social commerce harus diatur. Revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) diharapkan menjadi aturan main yang adil bagi pelaku usaha lokal maupun importir.

"Digitalisasi merubah pola perdagangan kita Jangan sampai karena kebijakan perdagangan yang salah industri kita mati karena kalah sama produk impor di pasar dalam negeri karena dijual murah," tegasnya.

Sebelumnya, pada Jumat (15/9/2023), Direktur Pemasaran SMESCO Wientor Rah Mada, awalnya mengungkap bahwa banyak pelaku UMKM banyak pelaku UMKM yang melapor ke SMESCO soal kehadiran social commerce. Harga berbagai produk yang dijual di platform daring itu terlalu murah.

Sebagai lembaga yang bertugas menjadi pintu akses UMKM, Wientor mengatakan pihaknya cukup geram dengan situasi tersebut.
"Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Ada yang jualan jilbab Rp 20 ribu dapat empat sementara HPP (harga pokok penjualan) UMKM kita itu satu jilbab Rp 15 ribu. UMKM selalu mengeluh kepada kami," ungkapnya.

Sumber : Finance.detik

No comments:

Post a Comment