Monday, March 6, 2023

Bregret? Banyak Orang Inggris Menyesal Brexit | PT Rifan Financindo

PT Rifan Financindo  -  Sudah 7 tahun sampai 4 kali pergantian perdana menteri sejak inggris memilih untuk meninggalkan Uni Eropa (UE) atau yang biasa dikenal dengan istilah British Exit (Brexit).

Alih-alih puas dengan kebijakan tersebut, generasi muda negara tersebut malah cenderung menyesali adanya Brexit. Bahkan sampai muncul istilah British Regret (Bregret).

Benar saja, dalam pooling pendapat YouGov terbaru yang diterbitkan minggu lalu, 53% peserta pooling mengatakan Inggris salah dalam keputusan untuk pergi meninggalkan UE. Itu mengalahkan mereka yang setuju dengan kebijakan Brexit yakni hanya 32% yang masih percaya itu keputusan yang tepat.

Tak berhenti sampai di situ, pendapat Ipsos pada bulan Januari menunjukkan bahwa 45% populasi mengira Brexit telah memperburuk kehidupan sehari-hari mereka. Mengalahkan sekitar 11% peserta pooling yang mengatakan bahwa hal itu telah membuat kehidupan mereka membaik.

Jajak pendapat yang dilakukan oleh Focaldata dan UnHerd pada akhir tahun lalu menemukan bahwa dari sekitar 10.000 responden secara nasional, berjumlah 54% "sangat setuju" dengan pernyataan bahwa Inggris salah meninggalkan UE.

Sementara, sedikit dari mereka berjumlah 28% yang sangat tidak setuju, dan dari 632 orang di Inggris Raya (Inggris, Wales, dan Skotlandia), lebih banyak orang yang tidak setuju dengan pernyataan tersebut daripada yang setuju. Pada 2016 presentasi untuk mendukung Brexit.

Perekonomian Inggris diperkirakan akan menjadi yang terburuk di G-20 selama dua tahun ini, sementara krisis biaya hidup dan kekacauan politik telah memperparah kondisi pemerintahan di sana.


Anand Menon, profesor politik Eropa dan urusan luar negeri di King's College London, mengatakan kepada CNBC bahwa ada dua perubahan utama dalam sikap publik terhadap Brexit.

"Yang pertama adalah meningkatnya jumlah orang, yang dulu mendukung Brexit, sekarang mengatakan bahwa pemerintah telah menangani Brexit dengan buruk. Artinya, mereka melihat ini sebagai kegagalan pemerintah," katanya.

"Hal kedua adalah meningkatnya jumlah pendukung yang menurut mereka Brexit memiliki dampak ekonomi yang negatif," lanjutnya.

Hal ini dibuktikan dalam jajak pendapat YouGov terbaru, yang menemukan bahwa 68% dari mereka menganggap pemerintah telah menangani Brexit dengan buruk, dibandingkan hanya 21% yang mengatakan pemerintah menangani dengan baik.

Sekitar 17,4 juta warga Inggris ingin negaranya keluar dari Uni Eropa dalam referendum Brexit. Namun beberapa hari kemudian, mereka yang memilih 'Leave' mengaku terkejut dan menyesali keputusan mereka.

Menurut Menon juga, Brexit mulai berdampak negatif terhadap ekonomi pada awal 2020, tak lama setelah Inggris meninggalkan UE. Dampak itu telah muncul sejak pandemi COVID-19.

Industri dari pertanian dan perikanan hingga manufaktur mobil dan obat-obatan telah mengalami kesulitan akibat dari Brexit selama beberapa tahun terakhir ini.

Sekarang, Menon berpendapat bahwa bomerang akan terjadi, karena banyak masalah ekonomi Inggris saat ini yang terjadi akibat Brexit yang tentunya banyak efek yang dapat merugikan negaranya.

"Sama sekali tidak ada keraguan bahwa Brexit adalah alasan angka ekonomi yang buruk yang kami lihat, terutama buruk dalam konteks ekonomi G-7 lainnya," katanya.

Tercatat sebanyak 51,9 persen pemilih atau 17.410.742 orang mendukung Inggris keluar dari Uni Eropa, sedangkan 48,1 persen pemilih atau 16.141.241 orang mendukung tetap bergabung.

Istilah Brexit sedang 'didefinisikan ulang'

Mantan Perdana Menteri Boris Johnson memenangkan pemilihan umum pada tahun 2019 dengan janji untuk "menyelesaikan Brexit", menggembar-gemborkan perjanjian "siap" negosiasikan dengan Uni Eropa. Kampanye itu melihat kandidat konservatif pro-Brexit garis keras membalikkan gelombang bekas pemilih pemilihan buruh "red wall".

Menon menyoroti hal tersebut bahwa sudah tiga tahun, Brexit sedang "didefinisikan ulang" dari masalah berbasis budaya dan nilai yang menyatukan para pemilih yang mungkin keras pada ekonomi, menjadi masalah terutama ekonomi.

"Itu bermasalah bagi pemerintah karena koalisi Brexit yang disatukan oleh Boris Johnson bersatu dalam masalah budaya, tetapi sangat terpecah dalam ekonomi, jadi tidak dapat terjadi secara efektif dan terkoordinasi, dan kami melihat ini di Partai parlementer," jelas dia.

"Ada pertikaian atas hal-hal yang sebagian besar partai politik alami dan sulit untuk bersatu, salah satu cara mereka agar bersatu, dengan dasar-dasar strategi ekonomi." lanjutnya.

Terlebih lagi, Brexit tidak lagi menjadi perhatian sebagian besar pemilih. Indeks Masalah Ipsos terbaru menunjukkan layanan kesehatan nasional adalah masalah yang paling menjadi perhatian publik, dengan 42% responden. Ekonomi dan inflasi, yang mendominasi selama setahun terakhir, dengan masing-masing sebesar 37% dan 36%.

Pada Januari 2019, tahun pemilihan umum terakhir, Brexit menjadi isu utama bagi 72% pemilih, menunjukan prihatin tertinggi.

Masalah seperti kekurangan sayuran baru-baru ini di Inggris dan kenaikan harga pangan dihubungkan dengan Brexit oleh komentator politik Inggris dan anggota parlemen dengan keyakinan tertentu. Menon menyarankan pendukung Brexit dapat mencoba untuk tenang dan tidak mengaitkan sebab akibat yang sama, berharap ekonomi telah pulih dalam waktu tiga tahun.


Sumber : finance.detik

PT Rifan Financindo

No comments:

Post a Comment